BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh
Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai
pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi
alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat
informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang
hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan
keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu
merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan
merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila
berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
Dalam kaitannya antara nisbat As-sunnah terhadap
Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah berfungsi menjelaskan apa
yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka
berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Quran apabila
As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-Quran.[1]
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat
ketiga setelah al-Quran dan Hadis Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh
menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat qath’I (nash yang sudah jelas,
gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat
dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan hukum. Namun demikian mereka berbeda
pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”.
Pengertian qiyas apabila dalam suatu kasus tidak
ditemukan hukumnya berdasarkan nash (al-Quran dan Sunnah) dan Ijma’dan di
peroleh ketetapan bahwa kasus itu menyamai suatu kejadian yang ada nash
hukumnya dari segi illat hukum itu, maka kasusu itu di qiyaskan denga kasus
tersebut dan ia diberi hukum dengan hukumannya, dan hukum ini merupakan
hukumnya menurut syara’.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Apakah semua ulama sepakat
dengan kehujjahan Al-Quran?
b.
Ditinjau dari segi apakah
As-Sunnah dikategorikan sebagai penjelas Al-Quran?
c.
Mengapa yang bersepakat dalam
ijma’ harus para mujtahid?
d. Bagaimana Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan
Metode Pengambilan Hukum!
1.3
Tujuan Penulisan
a.
Dapat mengetahui
kehujjahan Al-Quran
b.
Dapat mengetahui hubungan
As-Sunnah dengan Al-Quran
c.
Dapat mengetahui
macam-macam qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
AL-QURAN
A.
Pengertian
Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Jibril
ke dalam hati Rasullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna
yang pasti sebagai bukti bagi rasul bahwasanya dia adalah utusan Allah,
sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana
pendekatan (seorang hamba kepada Tuhannya) sekaligus sebagai ibadah biloa
dibaca. Al-Quran di antara dua lembar, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri
surat an-Naas, yang sampai kepada kita secara teratur (perawinya tidak
terputus) secara tulisan maupun lisan, dari generasi ke generasi, terpelihara
dari adanya perubahan dan penggantian yang dibenarkan Firman Allah Swt:[2]
انا
نحن نزلنا الذكر واناله لحافظون (الحجر:٩)
“Sesungguhnya
kami telah menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya kami tetap memeliharanya.” (QS.
Al-Hijr: 9)
B. Kekhususan
dan Keistimewaan Al-Quran
Setelah melihat definisi di atas, maka jelaslah bagi kita, bahwa Al-Quran
mempunyai kekhususan dan keistimewaan dari kitab-kitab lainnya. Maka
apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan keistimewaan Al-Quran, maka tidak
bisa dikatakan sebagai al-Quran. Adapun kekhususan dan keistimewaan menurut
Syarmin Syukur sebagai berikut:[3]
Ø Bahwa
Al-Quran baik kalimat dan maknanya, datang dari Allah SWT. Dan Rasul saw dalam
hal ini tidak lain hanyalah menyampaikan saja kepada manusia. Ia diturunkan
Allah melalui malaikat Jibril, dengan kalimat yang sama persis
dengan yang ada sekarang ini.
Ø Al-Quran
diturunkan kepada Rasulullah dengan lafadz dan uslub bahasa.
Ø Bahwa
Al-Quran telah diriwayatkan dengan cara mutawatir yang memfaedahkan ilmu yang
qath’I (pasti) dan yakin lantaran periwayatan dan ketetapannya yang sah.
C. Kehujjahan Al-Quran
Hukum Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan
jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah
merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari
Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak
diragukan lagi kebenarannya. Adapun kehujjahan Al-Quran menurut pandangan Ulama
Imam Mazhab sebagai berikut:[4]
a.
Pandangan Imam Abu Hanifah
Sependapat
dengan jumhur ulama bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup
lafazh dan maknanya. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah
bahwa Al-Quran hanya maknanyasaja adalah ia membolehkan shalat dengan
menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
b.
Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik,
hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia
bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
c.
Pandangan Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’i
sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran merupakan sumber
hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat. “Tidak ada yang
diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam
Al-Quran.” Oleh karena itu, Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash-nash
Al-Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakan,
yakni deduktif.
Namun, As-Syafi’i
menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah, karena kaitan
antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa
sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran kemudian As-Sunnah, maka Imam
Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum islam yang pertama itu Al-Quran dan
As-Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu
martabat.
d.
Pandangan Imam Ahmad Ibnu
Hambal
Al-Quran merupakan sumber
dan tiangnya syari’at Islam, yang di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang
tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Quran juga mengandung
hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai
hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal
sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran itu sebagai sumber
pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunnah. Namun, seperti halnya Imam
As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat
di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber
hukum itu adalah nahs, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunnah, tetapi
yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Quran dan As-Sunnah.
D.
Dilalah Al-Quran
Kaum muslimin sepakat
bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua
ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah
qath’i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya,
yang tidak ada pada qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan
penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.[5]
2.2.
SUNNAH
A.
Pengertian
Arti sunnah dari segi
bahasa adalah jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang senantiasa
dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.[6]
Sedangkan As-Sunnah menurut syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan
Rasulullah. Pengertian sunnah juga dapat dilihat dari tiga disiplin ilmu:
· Ilmu Hadits
· Ilmu Ushul Fiqih
· Ilmu Fiqih
As-Sunnah,
menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga
lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana
dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:
Artinya:
"Hendaklah engkau
berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut
riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk
sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama
Ushul as-Sunnah itu ialah:
Artinya:
"Apa yang dibekaskan oleh
Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."
B.
Kekuatan sebagai Hujjah
Umat islam sepakat bahwa
ucapan, perbuatan, dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau
tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan
kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam. Ia
adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’
atas perbuatan orang-orang mukallaf.
Adapun bukti atas kekuatan
As-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:[7]
1.
Nash-nash Al-Quran. Karena
Allah SWT, sering kali dalam ayat-ayat Al-Quran memerintahkan untuk taat kepada
Rasul-Nya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan mengembalikan
perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.
Kesepakatan para Sahabat
ra, baik sesama hidup maupun sepeninggalan Rasulullah Saw. Akan kewajiban
mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup nabi, para sahabat telah melaksanakan
hukum, menjalankan perintah dan (menjauhi) larangan nabi Saw; halal dan haram.
3.
Allah Swt, dalam Al-Quran
telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan
petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
C.
Hubungan As-Sunnah dengan
Al-Quran
Hubungan As-Sunnah kepada
Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan
hukum syara’ adalah menjadi pengiring Al-Quran. Adapun hubungannya kepada
Al-Quran dari segi hukum yang dibawanya, tidak lebih dari salah satu di antara
tiga hal berikut:
· As-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa
Al-Quran.
· As-Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang
dibawa Al-Quran
D.
Dilalah Sunnah
Ditinjau dari segi
petunjuknya, hadits sama dengan Al-Quran, yaitu bisa qath’iah dilalah
dan bisa zhaniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut,
namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara
nisbat As-Sunnah terhadap Al-Quran, para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah
berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan juga sebagai
penguat. akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-Sunnah
terhadap Al-Quran apabila As-Sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat
Al-Quran.[9]
Dalam kajian ushul fiqih,
hadits dari segi sanadnya terbagi menjadi dua macam: hadits mutawatir dan
hadits ahad.
2.3.
IJMA’
A.
Pengertian
Ijma’ menurut ulama ushul
fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah.atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[10]
Namun, ada beberapa ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’
menurut istilah, diantaranya:
· Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’
itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad Saw, dalam sustu
masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
· Pengarang kitab Tahrir, Al Kamal bin Hammam berpendapat
bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ MuhammadSaw,
terhadap masalah syara’.[11]
B.
Syarat-syarat Ijma’
Dari defenisi Ijma’
diatas dapat diketahui bahwa Ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi
kriteria dibawah ini
Ø Yang bersepakat adalah para mujtahid :
Para ulama berselisih paham tentang Istilah Mujtahid secara
umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai
kemampuan dalam mengistinbath huukm dari dalil-dalil syara’ dalam kitab
jam’ul Jawani, disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adlah orang yang
faqih, dalam sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’,
sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat
diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan
istilah ini sesuai dengan pendapat al qaqih dalamkitab isbat bahwa Mujtahid
yang diterima fatwanya adalah ahlu ahli wal addi.
Ø Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid
bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal
itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena Ijma itu harus mencakup keseluruhan
mujtahid.
Sebagian ulama berpendapat
bahwa Ijma; itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid karena yang
dimaksud kesepatakan ijma’ termasuk pula kesepatakan sebagian besar dari
mereka, begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup
hukum keseluruhan.
Ø Para muktahid harus umat Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat muhammad SAW ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud umat muahmmad SAW adalah orang mukallaf dari
golongan ahli wa al aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka
adalah oranng mukallaf dari golongan muhammad SAW.
Ø Dilakukan setelah wafatnya Nabi Muhammad
Ijma itu tidak terjadi
ketika nabi Masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan para
sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.
à Kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan syarat
Maksudnya, kesepatakan
mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat seperti tentang
wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
1.
Ijma’ Sharih
Artinya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
2.
Ijma’ Sukuti
Artinya, pendapat sebagian ulama tentang suatu maslah
yang diketahui oleh para mujahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati
ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti sah apabila
dikatakan memenuhi beberapa kriteria.
D. Maksud Ijma’ dalam Kitab-Kitab Fiqih
Sebagaimana telah kita
ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara lain adanya kesepakatan
dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang ketetapan hukum syara’.
Dengan demikian, apabila jumhur ulama menetapkan kesepakatan yang dilakukan
oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak termasuk ketetapan hukum dan tidak
dikatakan ijma’.
Menurut orang-orang yang
selalu mengikuti beberapa permasalahan, hasil ijma’ itu di adakalanya
bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid, tetapi ada juga yang berasal
dari kesepakatan imam madzhab. Maka tidaklah sah untuk menggantungkan diri
kepada kitab-kitab fiqih yang didalamnya terdapat kata ijma’, karena ijma’
tersebut mungkin saja hanya kesepakatan para ulama yang ada pada suatu madzhab
yang ditulis oleh pengarang kitab.
2.4.
QIYAS
A.
Pengertian
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan
yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih
memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap
kedudukan qiyas dalam istimbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua
golongan berikut ini:
1.
Golongan pertama
menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia yakni pandangan mujtahid.
2.
Golongan kedua qiyas
merupakan ciptaan syar’i, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau
merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui
suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh paramujtahid ataupun tidak.[13]
B.
Rukun Qiyas
· Ashl (pokok),
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang
dijadikan tempat mengqiyaskan.
· Far’u (cabang),
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
· Hukum Ashl,
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
· Illat
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil
dalil al-Quran, Sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illat-illat
rasional. Alasan ulama yang menetapkan qiyas:
· Diantara ayat-ayat al-quran yang digunakan sebagai dalil.
· Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil
· Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan
bahwa qiyas adalah hukum syara’.
C.
Qiyas sebagai sandaran
Ijma’
Para ulama berbeda
pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’ diantara mereka ada
yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadikan dasar ijma’
dengan demikian bahwa Ijma itu qath’I, sedangkan dalil qiyas adalah zhunni,
menurut kaidah, yang qath’, itu tidak sah didasarkan pada yang zhunni
Pada ulama yang menyatakan
bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’ beragumen bahwa hal itu telah sesuai
dengan pendapat sebagian besar ulama, juga dikarenakan qiyasitu termasuk salah
satu dalil syara’ maka sah dijadikan sandaran ijma’
D.
Kehujjahan Qiyas dalam
Hukum dan Perbedaan Metode Pengambilan Hukum
Masalah ini termasuk hal yang tidak boleh di kesampingkan dalam pembahasan
qiyas, dan tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan
dengan qiyas. Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan
metode qiyas harus menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyas dan
mengembalikan semua pada hukum.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum
Islam merupakan hukum ke-Tuhanan. Ini merupakan dalil pokok dan merupakan jalan
untuk mengetahui hukum-hukum ini. Maka Al-Quran, yakni firman Allah adalah
merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan bahwa Al-Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan langsung dari
Allah dan diterima oleh manusia dari Allah dengan cara yang pasti, tidak
diragukan lagi kebenarannya.
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber
hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud
(kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. Hal ini karena semua
ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnya, yang tidak ada pada
qiraahnya mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap
Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW.
Hal ini disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan
objek bahasan ushul fiqih yang diyakini dari Allah SWT, berbentuk Al-Quran dan
As-Sunnah.setelah itu ijma’ dan qiyas sebagai penguat sumber hukum islam.
Sebagaimana telah kita ketahui yang dimaksud ijma menurut syara’ itu antara
lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang
ketetapan hukum syara’. Para ulama yang menetapakan kekuatan qiyas sebagai
hujjah dengan mengambil dalil al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Wahhab, Khallaf Abdul. Ilmu
Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Aman, 2003
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka
Setia ,2007
Syamin, Syukur. Sumber-Sumber Hukum Islam,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1993
http://abdullatif16.blogspot.com/2013/05/al-quran-sunnah-ijma-dan-qiyas_16.html
No comments:
Post a Comment