Dzikir

himpunan doa photo himpunandoa.gif

Friday, 17 June 2011

4 Sumber Hukum Ahlussunnah Waljamaah

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah bersumber kepada empat pokok, yaitu: Al-Qur'an, Hadits/As-Sunnah, Ijma' dan Qiyas.

Secara singkat, paparannya sebagai berikut:

Al-Qur'an

Al-Qur'an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur'an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada umat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur'an. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dan Al-Maidah ayat 44-45, 47 :

"Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa." (QS. Al-Baqarah: 2)

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir." (QS. Al-Maidah: 44)

Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim." (QS. Al-Maidah: 45)

Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

"Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik." (QS. Al-Maidah: 47)

Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadah dan larangan-larangan Allah.

Al-Hadits/Sunnah

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur'an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur'an. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 44 dan Al-Hasyr ayat 7, yang artinya sebagai berikut:

"Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan." (QS. An-Nahl: 44)

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya." (QS. Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur'an dalam menentukan hukum.

Al-Ijma'

Yang disebut Ijma' ialah kesepakatan para Ulama' atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam seluruh persoalan hukum kembali kepada beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Kemudian ijma' ada 2 macam :
1. Ijma' Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma' Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma' sukuti ini Ulama' masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma' bayani telah
disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan mentaati. Karena para Ulama' Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum. Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 59, (yang artinya): "Hai orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu."(QS. An-Nisa': 59)

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma' apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar radhiyallahu 'anhum ajma'in jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam.

Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma' sebagai sumber hukum, seperti disebut dalam Sunan Tarmidzi Juz IV hal 466:
"Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak."

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431:
"Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak."

Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.

Rukun Qiyas ada 4 macam : al-ashlu, al-far'u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far'u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.

Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat.

Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syari'at Islam.

Dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, (yang artinya): "Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan." (QS. Al-Hasyr: 2)

"Dari sahabat Mu'adz radhiyallahu 'anhu berkata: Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda: Bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu'adz menjawab: Saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah. Mu'adz menjawab: Dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Nabi bersabda: Kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu'adz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali. Mu'adz berkata: Maka Rasulullah menepuk dadanya, kemudian Mu'adz berkata: Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan apa yang Rasulullah meridhai-Nya."

Kemudian Al-Imam Syafi'i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (QS. Al-Maidah: 95)

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah mempergunakan Ijma' dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Friday, 10 June 2011

Biografi singkat Al-Imam Abu Mansur Al-Maturidi

Namanya adalah Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama maturid didaerah Samarqand (termasuk daerah Uzbekistan) pada tahun 853 M dan meninggal pada tahun 333 H/ 944 M. Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah salah satu golongan aliran dari madzhab Ahlussunnah. Tidak seorangpun secara pasti mengetahui tahun kelahirannya. Ini adalah sebuah observasi penting karena ini berarti bahwa orang yang membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi tentangnya untuk menjadikannya sebagai sumber, artinya tidak ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya.

Golongan Maturidiyah adalah golongan rasionalis yang diatributkan kepada Al Maturidi. Sumber Ushulud Dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al Quran dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu.
Al Maturidiyah didirikan dalam rangka untuk mengkounter golongan yang lain (seperti Mu’tazillah dan Ash’aris), akan tetapi tidak disebut Al Maturidiyah hingga setelah kematiannya.

Adapun, Syeikh Nusair bin Yahya Al Balkhie (Hanafi) meninggal tahun 368 H, hanyalah seorang Syeikh yang diatributkan kepadanya. Dia tampaknya belajar semua fiqh dari Abu Hanifah, melalui beberapa pernyataan bahwa dia belajar dari ulama Hanafi lainnya seperti Al Jauzani dan saudaranya Abu Nasr Al Ayaad.

Al Imam Abu Mansur Al Maturidi digambarkan dalam buku; “Al Fath Al Mubin” (Terbuka Jelas Atas Tingkatan Ushulis), “Abu Mansur menggunakan argumen yang kuat untuk meyakinkan setiap orang, dia menggunakannya untuk mempertahankan aqidah umat muslim……”

Dia adalah orang yang banyak merujuk pada rasio/akal dan dari pendapat-pendapat mereka sendiri. Mereka memberikan kepadanya titel yang menyeluruh/sempurna, sepanjang persoalan itu bisa dibuktikan, dia tidak akan mengambil pendapat ulama. Mereka mengatakan, “Dia berdiri keras melawan golongan Mu’tazillah”. Dia begitu luar biasa dalam menyerang teks (Al Quran dan As Sunnah) dengan menggunakan rasio. Dia seorang rasionalis yang mencoba membuktikan eksistensi Allah dengan hujjahnya sendiri, akan tetapi jika dia tidak mengetahui bagaimana eksistensi Allah berdasarkan Al Qur’an maka dia akan dihukum oleh Allah swt.

Abu Mansur berdebat dengan semua ulama yang tidak sependapat dengannya. Dia berdebat dengan banyak orang dari golongan Mu’tazillah dan bersatu dengan Asy’ariyy dalam melawan mereka. Tidak ada bukti bahwa dia bertemu dengan Imam Abul Hasan Al Asha’ari, akan tetapi murid-murid mereka saling bertemu. Dia memilki perselisihan yang besar dengan Ahlul Hadits, dia menyaksikan pembunuhan besar-besaran antara Ahlul Hadits dan Ahlul Kalam. Kelebihan dari Imam Abu Mansur Al Maturidi adalah dia menulis banyak buku, akan tetapi dia tidak banyak mendapat dukungan dari ulama. Dia meninggal dan dikuburkan di Samarqand.


Dia dikenal adalah orang yang kuat. Dia dikenal oleh salah seorang ulama yaitu Abu Hasan An Nadawi, beliau berkata, “Abu Mansur Al Maturidi adalah seorang yang pandai, lihai dan terampil dalam semua seni.” (Rijal Al Fikri Wad Da’wah)
Dia hidup pada masa yang sama dengan Abul Hasan Al Ash’ari, akan tetapi tidak ada bukti bahwa mereka saling bertemu. Namun dilaporkan bahwa mereka berdebat dan berkomunikasi melalui surat dan melalui murid-murid mereka (meslipun tidak ada bukti bahwa mereka secara nyata berkomunikasi lewat surat).

Dia memiliki banyak buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Takfir”, “Takwil” yang dia gunakan untuk menyerang Jahmiyah dan salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Kitabul Tauhid”
Dalam “Kitabul Tauhid”, tidak disebutkan tentang Tauhid Uluhiyah, pembicarannya murni tentang Tauhid Rububiyah dan sesuatu yang berhubungan kepada Tanzih.
Kitab-kitab yang pernah dikarangan oleh beliau diantaranya adalah ;
· Kitab Al Tawhid
· Kitab Radd Awa'il al-Adilla
· Radd al-Tahdhib fi al-Jadal
· Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila
· Kitab Ta'wilat al-Qur'an
· Kitab al-Maqalat
· Ma'akhidh al-Shara'i' in
· Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
· Radd al-Usul al-Khamsa
· Radd al-Imama
· Al-Radd 'ala Usul al-Qaramita
· Radd Wa'id al-Fussaq

Al Maturidiyah

Setelah dia meninggal, ide-idenya berkembang mulai tahun 333 H hingga 500 H dikalangan murid-muridnya. Banyak dari mereka yang menulis banyak buku yang mengikutinya dalam aqidahnya dan mengikuti fiqh dari Abu Hanifah. Termasuk di dalamnya (muridnya) yaitu Imam Abul Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail Al Hakim Al Samarqandi (meninggal 342 H), dikenal sebagai Abul Qasim Al Hakim dan Abu Muhammad Abdul Kareem bin Musa bin Isa Al Bazdawi (meninggal 390 H) dikenal sebagai Al Bazdawi

Setelah ini tingkatan Al Maturidiyah dengan tokoh Abul Yusr Al Bazdawi (421 H – 493 H), dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Husain Abdul Kareem Al Bazdawi. Dia dikenal sebagai Syeikh dari Ahnaf setelah saudara tertuanya.

Setelah itu dia menjadi Syeikh Al Hanafiyah. Dia belajar dari ayahnya yang mengambil dari kakeknya yang merupakan murid dari Abu Mansur. Dia juga belajar dari banyak ulama Mu’tazilah. Dia belajar dari buku filosofi Al-Kindi. Dia menyalahkan Abu Hasan Al Ash’ari karena bukunya akan membingungkan semua orang (yang membacanya). Sesungguhnya dia telah membenarkan buku dari Abu Mansur Al Maturidi tentang At Ta’wil dan mendasari bukunya atas buku tersebut. Abu Yusr Al Bazdawi meninggal di Bukhara pada tahun 493 H.

Pada masa terakhir tulisan dan kumpulan dari aqidah Al Maturidiyah dari tahun 500 H dan seterusnya. Dilanjutkan pertama kali oleh Abul Mu’in An Nasafi (438 H – 508 H), orang yang berada antara Maturidiyah dari Baqilaani dan Ghozali serta Ash’aris. Dia menulis beberapa buku termasuk “Kitab At Tahmeed” yang berisi semua opininya.

Setelah itu, Najm Ad Dien An Nasafi (462 H – 537 H). Dia adalah Najm Ad Dien bin Muhammad An Nasafi, pengikutnya mencapai lebih dari 500 orang, dan terkenal dengan nama Abul Yusr Al Bazdawi dan Abu Isa. Imam Sam’aani berkata tentang biografi An Nasafi : “Pertama saya mengenalnya dia adalah seorang Imam yang memenuhi syarat dan dia menghimpun semua buku. Akan tetapi ketika saya berkunjung ke Samarqand saya membaca beberapa bukunya penuh dengan ilusi dan penyimpangan. Saya temukan (dari buku-buku tersebut) dia tidak mampu memahami hadits.”

Perlu dicatat bahwa Najm Ad Dien lebih dikenal oleh pengikutnya daripada Abu Mansur Al Maturidi. Setelah itu, Maturidiyah tersebar hingga ke Madaris dari Doubond dari tahun 1283 H dan tahun 1272 H. Maturidiyah tersebar hingga ke Brelwies. Penguasa Brelwies pada waktu itu adalah Ahmad Rida Khan, seorang Hanafi Maturidi. Dia dikenal sebagai “pemabantu dari Musatafa”. Dia meninggal tahun 1340 H. Sekolah terakhirnya adalah sekolah Al Kauthari, juga dikenal sebagai Jarkasi (1296 H – 1371 H) sebagai tokoh Maturidi. Dia adalah orang yang menghina semua a’immah dari ummah dan berkata “semua buku Salaf adalah syirik dan kita seharusnya tidak membacanya.” Dia adalah orang yang menulis semua buku-buku Abu Mansur Al Maturidi setelah itu.
Inilah sejarah singkat dari golongan Al Maturidiyah, darimana mereka datang dan bagaimana mereka berkembang. Penting untuk menggambarkan awal mula mereka. Karena kekacauan dari aqidah mereka tersebar luas di dunia hingga saat ini. Kita seharusnya mencatat bahwa dasar dari semua argumen mereka diawali dengan rasio/akal dan tidak didasarkan atas standar Islam dan sahabat Muhammad saw. Ahlul Sunnah Wal Jama’ah tidak menyimpang dari jalan sahabat Muhammad saw, baik dalam aqidah atau fiqh. Pemahaman inilah yang tidak ada (tidak ditemukan) di Al Maturidiyah.

Sumber:
http://enanglatif.blogspot.com/2011/05/biografi-singkat-al-imam-abu-mansur-al.html

Biografi Imam Al Asy'ari

Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin ismail bin abi bisyir ishaq bin Salim bin Ismail bin abdullah bin musa bin Bilal bin Abi burdah Amir bin Abu musa Abdullah bin Qais Al Asy’ari. Nama Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar nama seorang laki-laki dari suku qathan yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman.Dari suku Asy’ar ini lahir seorang sahabat terkemuka terkenal sangat Alim sehingga termasuk salah salah satu Fuqoha di kalangan sahabat nabi Saw yaitu Abu Musa abdullah bin Qais Al-Asy’ari yang di lahirkan pada 22 tahun pra Hijrah dan wafat tahun 44 H/665M.
Negeri Yaman memiliki peradaban yang relatif lebih maju pada masa awal Islam,melebihi daerah lain di semenanjung Arabia,memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kultur dan karakter penduduk yaman’yang mudah mematuhi dan menerima kebenaran,menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan berpikir positif terhadap keadaan yang di hadapi 14.Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan beberapa hadits shahih yang menyebutkan keutamaan penduduk Yaman.Dalam beberapa Hadits di Jelaskan,ketika Abu Musa Al Asy’ari akan datang ke Madinah bersama rombongannya dari suku Asy’ar Nabi Saw bersabda :

”keimanan yang sempurna itu datang dari Yaman dan Hikmah juga datang dari Yaman.Akan datang penduduk yaman hati mereka lebih halus dan lebih lembut dari pada hati kalian”15.

Karakter penduduk Yaman yang khas dengan kelembutan dan kehalusan sehingga mudah menerima dan mematuhi petunjuk dan kebenaran,dapat pula kita lihat dengan memperhatikan teks Hadits shahih berikut ini :

Dari imran bin Husain RA berkata : Aku bersama Nabi Saw’ tiba-tiba datanglah kaum dari golongan Bani Tamim(penduduk Nejd)
Nabi Saw berkata kepada mereka :”Terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim!”mereka menjawab:”Engkau telah memberi kabar gembira kepada kami oleh karena itu berilah kami (Harta benda).Lalu datanglah orang-orang dari penduduk yaman
’Nabi Saw bekata kepada mereka : “terimalah kabar gembira wahai
Penduduk Yaman karena Bani Tamim tak mau menerimanya”!
Penduduk Yaman menjawab:”Kami menerima Kabar gembira itu wahai Rasulallah dengan senang hati,Kami datang kemari untuk mempelajari ilmu Agama dan untuk menanyakan perihal permulaan apa yang ada di dunia ini”!
.Nabi Saw menjawab :”Allah itu ada pada saat sesuatu pun belum ada’Arasynya Allah itu ada di air,kemudian Allah menciptakan langit dan bumi dan mencatat segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh”.(HR.Bukhari 6868).
Teks Hadits di atas memberikan gambaran yang sangat jelas bagi kita tentang perbedaan karakter penduduk Yaman dengan penduduk Bani Tamim yang tinggal di Najd.Penduduk Yaman hatinya sangat lembut dan sangat halus,karakter mereka mudah menerima dan mematuhi kebenaran serta mementingkan Ilmu Agama ketimbang harta benda dan kepentingan duniawi.Hal tersebut berbeda dengan kaum bani Tamim yang tinggal di Najd yang tidak memiliki kepedulian akan Ilmu agama tetapi lebih mementingkan harta benda dan kekayaan duniawi kepada Nabi Saw.

Penduduk Yaman memiliki kemauan yang keras untuk mengetahui dan menanyakan perihal penting dalam pandangan Agama, yaitu perihal keesaan Allah Ta’ala yang bersifat Qodim dan Eksitensi Alam yang bersifat Huduts yang merupakan Materi penting dalam pembahasan Ilmu Tauhid.Berdasarkan Hadits tersebut para Ulama ahli Hadits seperti AlHafizh AlBaihaqi dan lain-lain berpandangan bahwa karakter Al-Imam Abu AlHasan Al-Asy’ari yang gemar mendalami ilmu Aqidah dan mengantarnya menjadi pemimpin Ahlu Sunnah Waljama’ah dalam bidang Aqidah,merupakan karakter bawaan dari leluhurnya yang memiliki cita-cita yang luhur untuk menguasai Ilmu pengetahuan dan mendalami persoalan Aqidah yang sangat penting dengan bertanya langsung kepda Nabi Saw.Dalam hal ini Al Imam AlHafiz Al Baihaqi berkata “pertanyaan penduduk Yaman kepada Nabi Saw tersebut menjadi bukti bahwa kajian tentang Ilmu Aqidah dan barunya alam telah menjadi warisan keluarga Asy’ari dari leluhur mereka secara turun temurun”16.

Berdasarkan keterangan di atas tidaklah aneh bila di kemudian hari dari kalangan suku Al Asy’ari lahirlah seorang ulama yang menjadi pemimpin Ahlu Sunnah waljama’ah dalam memahami dan mempertahankan Aqidah yang di ajarkan oleh Nabi Saw dan sahabatnya yaitu Al Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari.

Guru-guru Al Asy’ari
Imam Al Asy’ari lahir di kota Bashrah pada tahun 260H/873M.Dia lahir dan tumbuh dalam lingkungan faham Ahlu sunnah waljama’ah.Ayahnya Ismail adalah seorang ulama ahli hadits yang menganut faham Ahlu sunnah,hal ini terbukti bahwa ketika Ismail menjelang wafat dia berwasiat agar Al-Asy’ari di asuh oleh Al Imam AlHafizh Zakaria AlSaji,pakar hadits dan fiqih madzhab syafi’i yang sangat terkenal di kota Bashrah 17.Pada masa kecilnya Al Asy’ari selain berguru kepada Al Saji dia juga menimba ilmu kepada ulama-ulama Ahli hadits yan lain seperti Abdurrahman bin khalaf Al Dhabbi,Sahal bin Nuh Al Bashri,Muhammad bin Yaqub Al Maqburi dan lain lain.Hanya saja setelah dia berusia 10 tahun ada unsur asing yang sangat berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya,yaitu kehadiran Abu Ali Aljubai-Tokoh Mutazilah terkemuka di kota bashrah,dalam keluarganya yangbmenjadi ayah tirin dengan menikahi ibunya dan kemudian mengarahkan Al Asy’ari menjadi penganut Mutazilah hinga berusia 40 tahun.Berikut ini nama-nama guru Al Asy’ari yang di catat dalam sejarah.
Al Imam Al Hafizh Zakaria bin Yahya Al Saji
Abu Yahya Zakaria bin Yahya Al Saji Al Syafi’i (220-307H/835-920M) Hafizh besar,Muhadits kota Bashrah pada masanya dan Faqih bermadzhab Syafi’i.Dia telah menulis kitab ‘Ilal Al hadits yang membuktikan kepakarannya dalam studi kritik hadits.Ia juga menulis kitab ikhtilaf Al Fuqoha dan Usul Alfiqh yang membuktikan kepakarannya dalam bidang usul fiqih.Menurut al Dzahabi,Al Asy’ari belajar hadits dan ideologi ahli hadits kepada Zakaria al Saji ketika masih kecil dan belum memasuki aliran Mutazilah 18.

Al Imam Abu Khalifah AlJumahi
Abu Khalifah AlFadhl bin AlHubab AlJumahi AlBashri (206-305H/821-917M) Muhadits kota Bashrah yang di anggap (tsiqo ) ia seorang ahli hadits yang jujur dan banyak meriqayatkan hadits.Usianya hampir mencapai 100 tahun.Al Asy’ari banyak meriwayatkan hadits dari Abu khalifah dalm kitab tafsirnya 19.

Abdurrahman bin khalaf Al Dhabbi
Abu Muhammad Abdurrahman bin Khalaf bin AlHusain AlDhabbi AlBashri,Muhadits yang tinggal di Bashrah dan haditsnya di terima oleh para ulama.Ia belajar hadits kepada Ubaidillah bin Abdul Majid AlHanafi,Hajjaj bin Nushair Al Fasathithi dan lain lain.W279/893M 20.

Sahal bin Nuh AlBashri
Abu alHasan Sahal bin Nuh bin yahya AlBazzaz AlBashri seorang Muhadits yang tinggal di Bashrah,guru Al Asy’ari dalm bidang hadits.

Muhammad bi Yaqub AlMaqburi
Menurut ibnu Asakir,A Asy’ari banyak meriwayatkan hadits dalam tafsirnya melalui jalur Zakariya AlSaji,Abu Khalifah AlJumahi,Abdurrahman bin Khalaf alDhabbi,Sahal bin Nuh AlBazzaz dan Muhammad bin Yaqub alMaqburi yang semuanya tinggal di Bashrah 1.

Al Imam Abu Ishaq Al Mawarzi Al syafi’i
Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi, ulama besar dan pemimpin mahzab Syafi’i di Baghdad dan Mesir. Ia murid terbesar al-Imam Abu al-‘Abbas bin Suraij al-Baghdadi (249-306H/863-918 M). Pada mulanya Abu Ishaq al-Mawarzi ini menyebaran mazhab Syafi’i di Baghdad, menggantikan posisi gurunya Ibn Suraij. Namun pada akhir usianya, ia pindah ke Mesir dan menyebarkan mazhab Syafi’i di Mesir, hingga wafat disana pada tahun 340 H/ 951M dan jenazahnya dimakamkan bersebelahan dengan makam al-Imam Syafi’i. Al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Baghdad, bahwa al-Imam al-Asy’ari rutin menghadiri perkuliahan Abu Ishaq al-Mawarzi dalam materi fiqih Syafi’i setiap hari Jum’at di masjid jami’ al-Manshur 2. Informasi lainnya menyebutkan, bahwa al-Asy’ari belajar ilmu fiqih dari Abu Ishaq al-Mawarzi, sedangkan al-Mawarzi belajar ilmu kalam kepada al-Asy’ari 3.

Abu Ali al-Jubbai
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam AlJubba’i(235-303H/849-916M)pakar teologi tokoh mu’tazilah terkemuka dan pendiri aliran Jubba’iah salah satu aliran dalam mutazillah 4.Hubungan yang sangat dekat antara guru dan murid ini menjadikan AlAsy’ari menjadi kader mu’tazilah dan pada akhirnya mengantarnya menjadi tokoh mu’tazilah terkemuka.AlAsy’ari memilikikecerdasan yang luar biasa dan kemampuan yang hebat dalam membungkam lawan debatnya,sehingga tidak jarang Al Asy’ari mewakili AlJubba’i gurunya dalam forum perdebatan dengan kelompok luar mu’tazilah.AlJubba’i sering berkata kepada Al Asy’ari ,”Gantilah posisiku dalam perdebatan”.

Abu Hasim Al Jubba’i
Abu Hasyim Abdussalam bin Muhammad bin Abdul Wahab Al Jubba’i (247-321H/861-933M),putra Al Jubba’i pakar teologi dan tokoh mu’tazilah.Ia mendirikan Aliran Bashamiyyah,satu Aliran dalam mu’tazilah tidak ada data yang rinci hubungan antara Al Asy’ari dengan Abu Hasim Al Jubba’i,gurunya.
Dari pemaparan di ats dapat di simpulkan bahwa Al Asy’ari Al Asy’ari telah mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti hadits,tafsir,fiqih,ushul fiqh dll kepada beberapa ulama ahli hadits di kota Bashrah,sehingga hal ini menegaskan bahwa Al Asy’ari besar dan tumbuh dalam keluarga yang berfaham Sunni.Hanya saja perkembangan ini berubah setelah Al Asy’ari berusia 10 tahun dan ibunya menikah dengan Abu Ali Al Jubba’i tokoh mu;tazilah terkrmuka di Bashrah’sehingga sejak saat itu Al’asy’ari menekuni Aqidah mu,tazilah kepada Ayah tirinya tersebut.Sehingga Al Asy’ari benar-benar menjadi pakar terkemuka di kalangan mutazilah 5.

Dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah waljama’ah
Al-imam Abu Hasan Al Asy’ari mengikuti aliran mu’tazilah hingga berusia 40 tahun.Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh mu’tazillah dan tidak jarang mewaili gurunya Al Jubba’i dalam forum-forum perdebatan akhirnya Al Asy’ari keluar dan kembali kepada ajaran Ahlu sunnah waljama’ah.Pertanyaan yang patut di kemukakan di sini adalah”Apakah latar belakang keluarnya Al Asy’ari dari mu’tazilah kepada Ahlu sunnah waljamaah?..
Menurut data sejarah yang pernah di sampaikan oleh para ulama seperti Al Hafizh ibn Asyakir Al Dimasyqi,Syamsudi Ibnu Kholikan,Al Imam Tajuddin Al Subki dll setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi perpindahan Al Asy’ari dari mu’tazilah ke Ahlu sunnah waljama’ah.

1).ketidakpuasan Al Asy’ari terhadap ideologi mu’tazillah yang selalu mendahulukan Akal tetapi tidak jarang menemukan jaln buntu dan mudah di patah kan oleh argumentasi akal yang sama.Ketidak puasan Al Asy’ari dapat di lihat dengan memperhatikan beberapa hal’antara lain dengan memperhatikan riwayat yang menyatakan bahwa sebelum Al Asy’ari keluar dari aliran mu’tazilah dia tidak keluar rumah selama 15 hari,kemudian pada hari jum’at setelahnya dia keluar ke masjid ja’mi dan menaiki mimbar dengan berpidato :

“Sebenarnya saya telah menghilang selama 15 hari ini,selama itu saya meneliti semua dalil-semua ajaran yang ada,ternyata saya tidak menemukan jalan keluar.Dalil yang satu tidak lebih kuat dari pada dalil yang lain lalu aku memohon petunjuk kepada Allah ta,ala dan ternyata Allah ta,ala memberikan petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini.Mulai saat ini aku mencabut ajaran yang selama ini Aku yakini”.

Kemudian Al Asy’ari menyerahkan beberpa kitab yang di tulisnya sesuai dengan ajaran Ahlu sunnah waljama’ah kepada orang-orang di sana di antaranya adalah kitab Al-luma fi al-radd’ala ahl al-zaygh wa al-bida kitab yang memaparkan kerancuan mu’tazilah yang bejudul kasyf al-astar wa hatk al asrar dan kitab-kitab lain.Setelah kitab tersebut di baca oleh kalangan Ahli hadits dan fuqoha dari kalangan Ahlu sunnah waljama’ah mereka mengambil isinya,menadopsinya,meyakini kehabatan Al Asy’ari dan menjadikannya sebagai panutan 6.

Ketidakpuasan Al Asy’ari dengan faham mu’tazilah tersebut dapat di lihat dengan memperhatikan riwayat lain yangmengisahkan perdebatannya dengan AlJubba’i :

Al Asy’ari :”Bagaimana pendapatmu tentang nasib 3 orang yang meninggal dunia,satunya orang mukmin,satunya orang kafir dan satunya lagi anak kecil” ?

Al Jubba’i : “orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi,orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat.

Al Asy’ari : “Mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah “?

Al Jubba’i :”oh ‘tidak mungkin karena Allah akan berkata kepada anak itu”orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya”,sedangkan kamu belum sempat beramal jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu”.

Al Asy’ari : “Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata”Tuhan itu bukan salah ku,”andaikan aku di beri umur panjang tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu”.

Al Jubba’i :”oh’tidak bisa,Allah akan menjawab “oh bukan begitu,justru aku telah mengetahui’bahwa apabila kamu diberikan umur panjang maka kamu akan durhaka,sehingga nantinya kamu akan di siksa,oleh karena itu demi menjaga masa depanmu akan kumatikan kamu sewaktu masih kecil sebelum kamu menginjak usia taklif”.

Al Asy’ari : “Bagaimana seandainya orang kafir tersebut menggugat kepada Allah dengan berkata,”Tuhan engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku,tetapi mengapa engkau tidak memperhatikan masa depanku,dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu,sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu dan engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi kafir dan akhirnya aku di siksa seperti sekarang ini”.
Mendengar pertanyaan Al Asy’ari tersebut Al Jubba’i menemui jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban,Al Jubba’i hanya berkata”Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada”.

Al Asy’ari :”Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang telah ada,akan tetapi guru tidak mampu menjawab pertanyaanku”.

2).Bermimpi bertemu Nabi Saw.Suatu ketika pada permulaan bulan Ramadhan,Al Asy’ari tertidur dan bertemu Nabi Saw,Beliau berkata :”Wahai Ali tolongalah pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku, karena itulah yang benar”.
Setelah terbangun,Al asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya,dia terus memikirkannya apa yang dia Alami dalam mimpi itu.Pada pertengahan bulan Ramadhan,dia bermimpi lagi bertemu Nabi Saw,dan beliau berkata :”Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu”?
Al Asy’ari menjawab :”Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang di riwayatkan darimu”.
Nabi Saw berkata :”tolonglah pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.

Setelah terbangun ari mimpinya Al asy’ari merasa terbebani dengan mimpi itu.Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam,dia akan mengikuti hadits dan akan terus membaca Alqur’an.Tetapi pada malam 27 Ramadhan,tidak seperti biasanya rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya,sehingga diapun tertidur dengan rasa kesal dalam hatinya,karena meninggalkan kebiasaannya untuk beribadah kepada Allah ta,ala.Dalam tidur ia bermimpi bertemu lagi dengan Nabi Saw untuk ketiga kalinya,Nabi Saw berkata :”Apa yang kamu lakukan dengan perintah ku dulu”?
ia menjawab :”Aku telah meninggalkan ilmu kalam dan berkonsentrasi menekuni alqur’an dan Alhadits”.
Nabi Saw berkata :”Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam,tetapi Aku hanya memerintahmu membela pendapat- pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.
Ia menjawab :”Wahai Rasullallah,bagaimana aku mampu meninggalkan madzhab yang yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak 30 tahun yang lalu hanya karena mimpi”?
Nabi Saw berkata:”Andaikan Aku tidak tahu bahwa Allah Akan menolongmu dengan pertolonganNya,tentu Aku menjelaskan semua jawaban masalah-masalah(ajaran mu’tazilah)itu.Bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini,Allah akan menolongmu dengan pertolonganNya”.Setelah terbangun dari tidurnya Al asy’ari berkata :”selain kebenaran pasti hanya kesesatan”.

Lalu dia mulai membela hadits-hadits yang berkenaan dengan Ru’yah(melihat Allah di akhirat),syafa’at dan lain-lain.Ternyata setalah itu Al Asy’ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil –dalil yang belum pernah di pelajarinya dariseorang guru,tidak dapat di bantah oleh lawan dan belum pernah di bacanya dalam suatu kitab 7.

Sumber : http://invasi.blogspot.com/2010/05/biografi-imam-al-asyari.html